BE MOTIVATOR

Damai (belum) Tentu Merdeka



MEMASUKI Ramadhan 1431 Hijriyah kali ini, ada dua momentum penting yang diperingati masyarakat Aceh. Pertama, memperingati lima tahun MoU Helsinki, dan yang kedua memperingati kemerdekaan RI ke-65. Rangkaian kedua momen penting ini kebetulan jatuh dalam bulan Ramadhan. Bulan yang penuh rahmat dan maghfirah, sehingga jauh dari kesan gegap-gempita perayaan yang penuh muatan seremonial setiap tahunnya.

Merunut pada dua agenda besar tadi, subtansi yang sebenarnya paling esensiaal untuk dibahas di sini adalah sejauh mana sudah kita menerjemahkan kemederkaan dalam arti luas untuk Indonesia dengan HUT RI, dan MoU perjanjian damai Helsinki, untuk Aceh?

Saya teringat sepotong sajak yang ditulis oleh seniman Ikra Nagara pada awal masa reformasi tahun 1999 dulu. Menurut saya, sajak Ikra itu unik dan lucu. Unik karena judulnya lebih panjang dari isinya. Lucu kerena hanya terdiri dua kata saja, dan isinya pun sangat menggelitik.

Merdeka!
Belum ...

Itulah sajak dua kata yang ditulis Ikra Nagara. Dua kata itu, antara judul dan isi seolah saling memergoki kita, bangsa ini yang katanya sudah merdeka setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta, sang dwi tunggal Indonesia 65 tahun yang lalu itu. Kenapa Ikra mempertanyakan kembali arti sebuah kemerdekaan bagi Indonesia? Secara harfiah, ketika sebuah negara sudah tidak lagi dibawah tangan penjajahan, seyogyanya sebuah bangsa sudah merdeka dari berbagai bentuk penindasan bangsa asing. Sekarang sudah tidak ada lagi Portugis, Belanda, dan Jepang yang menjajah kita. Indonesia sudah kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Di pimpin oleh anak negeri. Keamanan dan ketenteraman yang terjamin. Mengelola sendiri hasil bumi.

Ah, mestinya Ikra salah jika berteriak Indonesia belum merdeka! Sebab ratusan ribu, bahkan jutaan jasad para pejuang bangsa ini, sudah terkubur berkalang tanah demi dan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kita saja di Aceh punya pahlawan seperti Teuku Umar, Teungku Chik Di Tiro, Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, dan masih banyak nama pahlawan lainnya. Namun sepertinya kemerdekaan yang dimaksudkan Ikra, jika dilihat dari kaca mata kehidupan rakyatnya, masih “belum merdeka”. Lihat saja, betapa senjang dan kedodorannya perekonomian Indonesia dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia, Brunai, dan Singapura yang serumpun dengan Indenesia, namun secara perekonomian mereka jauh lebih maju. Belum lagi dibandingkan dengan kesejahteraan penduduknya, Indonesia juga jauh lebih miskin. Di bidang pendidikan dan kesehatan apalagi. Padahal ketiga jiran itu lebih belakangan merdekanya dari Indonesia.

Bahkan, gerakan reformasi yang menuntut Soeharto lengser pada 1998,  banyak memakan korban. Etnis keturunan juga harus merasakan imbasnya, karena kediaman mereka dijarah, dan ada juga yang terbunuh dan terusir dari Indonesia, terutama di kota-kota besar di Pulau Jawa. Mungkin fenomena sosial dan politik seperti inilah yang dimaksud oleh Ikra Nagara, bahwa Indonesia masih “belum merdeka”. Belum lagi adanya kesenjangan pembangunan yang belum merata antara satu daerah dengan daerah lainnya. Begitu juga wajah pemerintahan masih korup.

Di Jakarta masih ada dua janda pahlawan, Roesmini (78) dan Soetarti (78) yang mempertahankan rumah dinas mereka untuk diambilalih pemerintah. Sengketa kepemilikan rumah ini akhirnya memasuki ranah hukum karena pihak Perum Pegadaian, instansi yang memperkarakan kedua sang janda untuk dipidanakan. Kedua janda pahlawan ini sudah 25 tahun menempati rumah dinas di kawan Jakarta Timur itu, karena suami mereka merupakan pensiunan pegawai Pegadaian. Berbagi cara telah dilakukan, termasuk mendatangi Istana Negara untuk menemui SBY. Tapi keduanya ditolak petugas. Alih-alih memeroleh keadilan, malah keduanya terancam dituntut pidana dua tahun penjara. Namun, Pengadilan Jakarta Timur akhirnya memvonis bebas kedua janda tadi. “Suami saya dulu pejuang, kok, masih teganya dikriminalkan,” kata Soetarti (Kompas,17/3).

Tentunya masih banyak “ketidakmerdekaan” lainnya. Jika dulu Belanda mengirimkan bom-bom ke rumah pejuang untuk mengejar para pejuang, sekarang pun “bom-bom” dalam bentuk lain masih menyatroni rumah-rumah warga dalam bentuk ledakan gas elpiji. Nyaris hampir saban hari kita menonton di televisi, rumah-rumah yang hancur, dan para korban berjatuhan akibat ledakan gas elpiji. Sudah puluhan yang tewas dan luka-luka, sejak kebijakan pemerintah mengganti subsidi minyak tanah ke gas elpiji. Bahkan untuk menutupi kesalahan, instansi pemegang otoritas di pemerintahan hanya saling lempar kesalahan. Padahal korban terus berjatuhan tanpa ada pencegahan.

Damai belum merdeka
Kembali ke Aceh, MoU perdamaian Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 oleh perwakilan RI dan GAM, sepertinya juga masih “belum damai”. Perjanjian damai yang sudah memasuki tahun kelima itu, masih berjalan tertatih-tatih, jika tidak ingin disebut mati suri, karena masih banyak masalah yang melilit. Memang, tak ada lagi perang antara pemerintah dan GAM. Namun, masih banyak kebijakan pusat, terkadang masih ambigu dan tidak selaras dengan hasil MoU perjanjian damai yang pangkalnya ada pada Undang-Undang  Pemerintahan Aceh (UU PA).

Buktinya, kebijakan Pusat menyangkut dengan regulasi turunan UUPA, hingga saat ini masih tertahan di Jakarta, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), maupun Keputusan Presiden (Perpres) sebagai dasar hukum untuk menjalankan amanah MoU Heksinki.

Selain itu, terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah kepada Dewan Kawasan Sabang, juga dimentahkan kembali oleh Menteri Keuangan. Menurut Kementerian Keuangan, bahwa ketentuan tentang kepabeanan dan cukai, harus tetap diberlakukan di Kawasan Sabang, yang berlaku secara nasional. Padahal, sesuai dengan UU PA, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, mestinya bebas dari tata niaga, penggunaan biaya masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan bea cukai. Dengan tidak adanya konsistensi dan keseriusan pemerintah Pusat, kita khawatir dapat melunturkan kembali kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah Pusat jika makna damai bagi Aceh hari ini belum mengantarkan Aceh kepada makna “merdeka” mengurus dirinya sendiri seperti tertuang dalam MoU Helsinki dan UUPA.

Padahal, sejatinya regulasi itu dibutuhkan bukan hanya untuk menyelamatkan MoU Perjanjian Damai ansich, namun juga untuk memungut kembali kepercayaan rakyat Aceh selepas konflik yang memakan begitu banyak korban jiwa.