BE MOTIVATOR

“Bermain” dengan Api Konflik Aceh

PERDAMAIAN Aceh memang sudah terwujud. Setidaknya pada tingkatan perdamaian negatif. MoU Helsinki adalah bukti nyata bahwa konflik antara Pemerintah Pusat dan GAM sudah berakhir, terhitung sejak ditandatanganinya nota kesepahaman yang baru saja diperingati dua hari sebelum hari Kemerdekaan Indonesia. Dan, melalui pelaksanaan sejumlah kesepakan yang ada kedua pihak pun mampu menjaga suasana tanpa konflik kekerasan (perang) hingga saat ini meski sudah tidak ada lagi AMM (Aceh Monitoring Mission).

Berkah perdamaian ini bahkan dipercaya akan terus bertahan selamanya. Sebuah survei online yang baru-baru ini dilakukan KATA Institute memperlihatkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perdamaian Aceh masih sangat besar. Dari total peserta isian kusioner yang berjumlah 122 orang 68% sangat percaya kalau perdamaian Aceh akan berlangsung selamanya. Hanya 32% yang tidak menaruh kepercayaan bahwa damai Aceh akan berlangsung selamanya.

Meski mereka yang tidak percaya pada damai Aceh yang abadi sangat kecil namun perdamaian negatif memang belum menjadi penjamin bagi damai yang berkelanjutan. Diperlukan apa yang oleh Jhon Galtung disebut perdamaian positif untuk menjamin terwujudnya keberlanjutan perdamaian Aceh. Jika perdamaian negatif adalah kondisi tidak ada perang atau konflik bersenjata (kekerasan langsung) maka perdamaian positif adalah kondisi ketiadaan kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Jadi terpenuhinya kesejahteraan dan keadilan yang diperoleh dari pengelolaan pemerintahan dan pembangunan yang dilakukan secara transparan dan partisipatif.

Sampai di sini, mau tidak mau pikiran memang harus kembali pada MoU Helsinki karena nota kesepahaman ini tidak hanya menjadi “kiblat awal” bagi perwujudan perdamaian negatif (mengakhiri perang) tapi juga menjadi landasan bagi hadirnya kebijakan-kebijakan operasional dalam hal perwujudan perdamaian positif (kesejahteraan, keadian).

Dengan mencermati apa yang sudah dilaksanakan dan belum dilaksanakan dari 71 butir perjanjian dalam MoU Helsinki maka akan segera bisa diketahui apakah perdamaian Aceh yang sudah berusia lima tahun ini masih mengandung bau api konflik Aceh, dan bisa jadi siap disulut, terbakar atau membakar kapan saja?

Sepertinya, jawaban yang menarik untuk dicermati bukan lagi pada semakin banyaknya pihak yang sadar bahwa adanya bau api konflik Aceh di ruang kebijakan terkait MoU Helsinki dan UUPA yang apabila tidak diurus dengan cepat, mendalam, dan tuntas akan menjadi penghambat bagi terwujudnya perdamaian positif. Melainkan, sudah mulai ada pihak yang sepertinya mendapatkan “bau lain” dari bau api konflik Aceh yang ada. Jadi tidak sekadar bau api murni. Tapi “bau lain” yang memiliki nilai politik pencitraan.

Jika yang pertama adalah kaum sensitivitas konflik maka yang kedua adalah kaum yang memiliki penciuman politik yang tajam dan cerdik (politik pencitraan). Akibatnya, di tataran permukaan hampir sangat sulit untuk membedakan kerja kaum sensitivitas konflik dengan kaum politik pencitraan karena keduanya bisa saja melakukan sesuatu dengan cara yang sama dan bisa jadi saling memanfaatkan dalam berbagai bentuk kerjasama.

Menariknya, baik kaum sensitivitas konflik maupun kaum politik pencitraan bertolak dari pandangan yang sama. Mereka sepakat bahwa bau api konflik Aceh itu akan semakin keras baunya jika idak ada ketidaksesuaian UUPA dengan MoU Helsinki dan jika terjadinya keterlambatan pembuatan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang sesuai dengan janji dan amanat UUPA.

Berbeda dengan kaum sensitivitas konflik, sensasi politik justru begitu dirasakan oleh kaum politik pencitraan pada bau api konflik Aceh terkait kebijakan. Sensasi itu berupa adanya “musuh” yang bisa dijadikan musuh bersama dalam usaha untuk mendekatkan diri dengan kaum sensitivitas konflik yang sudah dari awal memiliki pencermatan yang kritis dan sensitif atas dinamika kebiajakan yang ada.

Sekali lagi, di atas permukaan kita sedang melihat sebuah drama kekompakan politik yang begitu manis dalam melihat masalah utama, yang secara advokasi terformulasi dalam rumusan masalah yang terbatas yakni pada keterlambatan pihak Pemerintah Pusat dalam penyelesaian RPP dan Perpres terkait implementasi UUPA. Kewajiban Pemerintah Pusat yang seharusnya sudah dilaksanakan dua tahun yang lalu ternyata tidak juga selesai bahkan ketika usia perdamaian Aceh sudah lima tahun.

Adanya pernyataan sikap Forum Komunikasi Pemerintahan Kabupaten dan Kota se-Aceh terkait hal yang sama dan disampaikan secara eklusif (iklan) sehari usai perayaan Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke 65 dan empat hari usai perayaan 5 Tahun MoU Helsinki tidak boleh buru-buru dibaca sebagai mulai meluasnya tekanan Aceh atas Pemerintah Pusat karena sudah melibatkan pihak penyelenggara pemerintahan di kabupaten dan kota se-Aceh. Bisa jadi pernyataan ini masih berada dalam nuansa politik pencitraan untuk mereka yang sedang berinvestasi dalam bursa suksesi kekuasaan.

Cara mengkritisnya bisa dengan pertanyaan mudah. Apa usaha cerdas yang sudah dilakukan oleh mereka yang menyatakan sebagai pemimpin hasil pilihan langsung rakyat dalam usaha mendorong Pemerintah Pusat menyelesaikan kewajibannya. Bagi mereka yang memiliki kemampuan investigasi mungkin bisa menelusuri daftar agenda pertemuan pembahasan dan daftar pertemuan lobi politik yang sudah dimainkan oleh mereka yang memiliki hubungan kerja, tugas, dan politik dengan Pemerintah Pusat. Lebih lanjut, apa draf usulan yang dimiliki dan bagaimana draf usulan itu dirancang dan dikemas untuk kemudian digulir yang bisa menarik perhatian dan dukungan Pemerintah Pusat agar lebih cepat lagi memenuhi kewajibannya. Dan lebih jauh lagi bagaimana kekuatan networking para pemimpin kita yang sudah dibangun dalam kaitannya dengan Pemerintah Pusat. Strategi lobi politik apa yang dipakai? Apakah masih strategi tekan dan tekan atau strategi “bloe siploh pueblo sikureueng lam rueweung mita laba.”

Hasilnya, saya yakin akan memperlihatkan peta sesungguhnya, mana kaum yang sudah dan sedang serta terus berusaha bersungguh-sungguh mewujudkan perdamaian positif di Aceh sebagai pelengkap dari terwujudnya perdamaian negatif dan mana kaum politik pencitraan yang melihat setiap momentum keacehan sebagai jembatan untuk bermain di bursa politik kekuasaan, dari waktu ke waktu.

Hanya perlu diingatkan bahwa gagalnya perwujudan perdamaian positif tidak sepenuhnya terletak pada Pemerintah Pusat melainkan juga pada bagaimana seluruh lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di Aceh menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya secara maksimal serta secara cerdas mengatasi setiap hambatan yang ada.

Kepemimpinan kadangkala lebih menuntut adanya kecerdikan ketimbang pintar dalam membangun tekanan. Saya yakin, cepat atau lambat kaum sensitivitas konflik akan menyadari sebuah drama politik yang coh ujong meski kerap kesadaran itu muncul ketika peta sudah terbentang. “Alah hai hom hai” ungkap almarhum Rufriadi SH, pengacara aktifis. Sebuah ungkapan penyesalan kala menyadari suatu keadaan yang sudah terlanjur salah disikapi.